Jumat, 01 Mei 2009

Jak beut di Aceh

Jak beut, sebuah istilah yang sangat populer dalam masyarakat Aceh. Hampir 100% orang Aceh pernah melakukan kegiatan yang namanya jak beut. Bila diterjemahkan secara kata perkata ke dalam bahasa Indonesia maka “jak beut” akan memberi makna “pergi mengaji”. Artinya kegiatan pergi ke suatu tempat yang di sana ada satu majelis pengajian dan dipimpin oleh seorang Teungku (guru) serta ada anggota pengajian. Walaupun seseorang itu hanya datang untuk satu kali saja pada majelis tersebut.


Dalam tradisi masyarakat Aceh, kata “jak beut” kemudian lebih dikhususkan dan menjadi satu istilah setiap orang yang pergi merantau ke dayah/balee untuk menuntut ilmu agama Islam dengan menetap di sana dalam jangka waktu yang lama. Jak beut menurut definisi ini juga dikenal dalam budaya masyarakat Aceh dengan istilah jak Meudagang. Dayah sebagai tempat jak beut merupakan suatu lembaga pendidikan di Aceh yang khusus mengajarkan ilmu Agama Islam, baik itu Ilmu Fiqh, Tauhid dan Ilmu Tasawuf. Kata “dayah” itu sendiri berasal dari bahasa Arab “Zawiyah” yang bermakna “sudut atau pojok” (kamus A.W. Munawwir, 1997).

Bila dipahami dari kata ini maka makna dayah atau zawiyah adalah pojok/sudut. Pemaknaan seperti ini menjadi benar, karena dalam sejarah Aceh posisi dayah sering berada di pojok desa atau kawasan pedalaman yang relatif jauh dari perkotaan. Namun pengistilahan dayah itu sendiri dalam tradisi masyarakat Aceh bukan karena letaknya yang di pojok desa, tetapi nama itu diambil dan di bawa pulang oleh ulama dari Aceh yang menuntut ilmu di Timur Tengah pada tempo dulu.

Orang yang berada di dayah disebut dengan ureung jak beut (orang pergi mengaji) atau aneuk miet beut (anak-anak yang mengaji). Disebut aneuk miet beut karena yang datang mengaji di dayah-dayah adalah mereka yang masih berumur remaja dan pemuda (umur 12 – 30 tahun). Dalam istilah Jawa (Indonesia) kemudian aneuk miet beut disebut dengan santri dan dayah dikenal dengan pesantren atau pondok pesantren. Walaupun ada sedikit perbedaan tradisi antara pesantren di Jawa dan dayah di Aceh.

Kembali pada pertanyaan dasar, untuk apa orang atau generasi Aceh jak beut (pergi mengaji)?. Jak beut yang dimaksud di sini sebagaimana yang dijelaskan di atas; orang yang mondok di dayah.


Secara umum kita mendapati jawaban dalam masyarakat supaya “malem” (‘alim). Sering kita mendapatkan ungkapan dalam masyarakat atau pesan orang tua kepada anaknya: “Nyak jak beut beu malem beh” (nak, pergi mengaji biar alim ya). Ungkapan ini mempunyai makna bahwa harapan orang tuanya agar anaknya menjadi alim setelah sekian lama belajar mengaji di dayah. Harapan singkatnya orang tua ingin anaknya juga jadi alim seperti Abu pimpinan dayah yang mengajar anaknya itu.

Seiring dengan itu, keinginan Abu di dayah pun bersambut dengan cita-cita orang tua si anak. Abu juga menginginkan anak didiknya minimal menjadi seperti dirinya, bisa menjadi ulama dan menjadi pimpinan dayah. Bahkan dalam satu hikayah dari mulut ke mulut kita mendengar, dahulu Almarhum Abuya Muda Wali Labuhan Haji dan Almarhum Abon (Tgk. Abdul Aziz) Samalanga-- mungkin juga lainnya-- selalu mewasiatkan bagi santrinya yang hendak pulang kampung (tidak ngaji lagi) agar peudong balee (dirikan balai) di mana ia menetap nanti.

Pesan ini bila di pahami secara dhahiriah, maka menjadi satu tanggung jawab moral santri untuk mendirikan balai pengajian atau dayah ditempat dia menetap setelah pulang dari dayah. Kenyataannya, pesan ini benar-benar diwujudkan oleh para santri. Kita mendapatkan banyak sekali dayah dan balee yang ada di Aceh saat ini. Dalam satu pendataan oleh Dinas Pendidikan NAD menunjukkan sudah lebih dari 1000 buah dayah di Aceh. Kalau di pahami dengan makna tersirat, wasiat itu bermakna; dimanapun ia berada tetap harus menjadi pengajar, pemberi ilmu, penyebar kebenaran kepada umat dimana saja ia berada. Ia harus menganut filosofi balee, ia harus bak balee yang berjalan, tempat orang mendapatkan ilmu dan pencerahan tentang agama.

Sungguh begitu mulia cita-cita orang tua saat mengantar anaknya jak beut dan harapan Abu dayah saat sumeubeut. Tetapi berapa persenkah jumlah ureung jak beut yang mampu menggapai cita-cita dan harapan itu?. Belum ada data valid tentang ini, namun secara kasar kita bisa menghitung, sekarang ada + 75.000 orang santri yang tersebar di + 1.000 dayah di Aceh (berdasarkan data sementara di Sekretariat Rabithah Thaliban Aceh). Logikanya bila sekarang ada 75.000 santri maka 10 tahun ke depan akan ada 75.000 dayah di Aceh. Namun kenyataan tidak demikian.

Lalu yang lain jadi apa, selain menjadi pimpinan dayah? Tentu ini sebuah dinamika logis berdasarkan teori penciptaan manusia; “… manusia diciptakan bersuku-suku, berbangsa-bangsa …” (Q.S. Al-Hujurat : 13). Bahwa manusia tidak mungkin sama dan tidak akan sama, maka tidak semua orang yang jak beut akan jadi Teungku dan akan menjadi pimpinan dayah. Oleh karenanya selain itu meraka jadi apa? yang pasti mereka menjadi subjek sosial terhadap berbagai profesi lainnya yang ada dalam masyarakat.

Pertanyaan kembali muncul, apakah dayah mempersiapkan mereka untuk menjadi pelaku sosial selain menjadi Teungku atau Abu?. Kembali kita melihat pada sistem pendidikan di dayah. Para santri, hari-hari diwajibkan mengikuti peraturan yang telah di tetapkan dan di dalamnya berisikan hampir 65% waktu sehari di gunakan untuk belajar kitab kuning (hukum Islam), baik dikelas maupun di luar kelas. Selebihnya digunakan untuk istirahat, belanja dan memasak serta sedikit berolah raga.

Mereka tidak diberi kesempatan untuk menekuni ilmu dan keterampilan yang lain, karena waktu sudah ditetapkan sedemikian rapi dan padat. Memang ada beberapa waktu bagi sebagian santri digunakan misalnya untuk bekerja sebagai tukang bangunan di dayah, atau pengelola kantin dan koperasi dayah. Ini masih dalam jumlah yang sangat sedikit, sementara yang lain tetap seperti biasa. Sehingga modal bagi mereka kelak hidup dalam masyarakat dan setelah berumah tangga terasa kebingungan. Bagi mereka yang menjadi Abu atau pimpinan dayah mungkin kehidupan secara ekonomi sedikit mapan karena akan banyak bantuan dan perhatian dari masyarakat, juga pemerintah. Tetapi bagi mereka yang tidak menjadi Abu, sebaliknya hanya menjadi Teungku biasa dalam masyarakat, sering kita mendapati mereka adalah orang yang miskin secara ekonomi.

Untuk menyikapi realitas tersebut, penulis memandang kiranya dayah perlu mempersiapkan alumninya menjadi orang-orang yang siap mengabdi di berbagai sektor dan profesi dalam masyarakat. Alumni dayah juga harus punya skill (keterampilan) lain yang bisa menopang hidupnya secara ekonomi. Maka pendidikan di dayah perlu dimasukkan materi-materi umum yang sifatnya skill. Seperti pelatihan las, komputer, kursus bahasa Arab dan Bahasa Inggris, kemampuan manajerial administerasi, jurnalistik, karya tulis ilmiah dan keterampilan umum lainnya. Sementara beut kitab sebagai tujuan utama tetap menjadi perioritas.

Bila kemampuan ini sudah dimiliki para santri, maka ini akan menjadi bagian dari persiapan terhadap tuntutan yang berkembang selama ini, yaitu santri juga harus bisa jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kita menginginkan santri harus bisa masuk dan mampu dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Santri bukan hanya menjadi Teungku di kampung-kampung. Alumni dayah juga harus masuk ke dunia pemerintahan (eksekutif), legislatif dan dunia profesi lainnya.

Sebenarnya untuk mengisi Aceh dengan Syariat Islam yang kaffah potensi santri masuk wilayah itu sangatlah penting. Karena santri sudah mempunyai basic agama yang bagus dan kuat, secara moral mereka relatif baik --walupun tidak ada jaminan. Jangan selama ini hanya mengeluh dan prihatin dengan kelakuan mereka yang ada di pemerintahan, tapi kita harus mampu memasuki dunia itu untuk melakukan perbaikan dari dalam. Harus di buktikan bahwa produk dayah adalah orang-orang yang siap pakai dan mempunyai moralitas yang baik. Bila peran ini bisa dilakukan maka wasiat kedua ulama besar di atas kepada santrinya “peudong balee” benar-benar bisa diinternalisasikan dalam makna yang tersirat. Artinya balee tempat memberi pencarahan kebenaran selalu ada bersamanya setiap alumni dayah.

Apa yang sudah dilakukan oleh Dayah MUDI MESRA Samalanga merupakan satu langkah maju dan luar biasa yang dilakukan oleh dayah. Terlepas dari adanya pro-kontra dari para Abu-Abu dayah yang lain, tetapi Dayah Al-Aziziyah Samalanga itu telah mencoba mencetak kader-kader ulama yang berintelektual dan intelektual yang ulama. Semoga langkah-langkah ini dapat diikuti oleh dayah-dayah lain di Aceh. Bukan maksud penulis harus ada Perguruan Tinggi dalam dayah, tetapi sikap terbuka dengan pengetahuan umum dan pengembangan keterampilan santri yang ada di Dayah Mesjid Raya ini. Santri jayalah selalu.(*)

Read more...

Kamis, 30 April 2009

Berani Menghadapi Tantangan

Ketika pasukan negara imperialis terbesar di dunia saat itu, Romawi Timur (Byzantium), kian mendekati Madinah, Rasulullah SAW memberangkatkan pasukan menghadangnya. Menjelang kawasan Mu'tah, tepatnya di Desa Mu'an, kaum Muslimin berhenti dua hari dua malam. Tanpa diduga, bersama aliansinya, seperti Bani Ghassan, Lakham, Juzam, dan lain-lain, Romawi menyiapkan lebih dari 200 ribu anggota pasukan bersenjata lengkap. Padahal, serdadu Islam hanya 3.000 orang.

Sebagian dari kaum Muslimin ingin mundur karena merasa mustahil menghadapi lawan. Yang lain, mau mengabari dulu Rasulullah SAW seraya meminta tambahan pasukan. Tiba-tiba, Abdullah bin Rawwahah angkat suara, ''Saudara-saudara sekalian, demi Allah sesungguhnya yang kalian benci itulah tujuan kalian kemari, yakni mati syahid. Kita berperang melawan musuh bukanlah karena senjata lengkap dan tentara yang banyak.

Melainkan, karena dengan agama ini Allah akan memuliakan kita. Karena itu, mari maju meraih salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau mati syahid.'' Kata-kata Abdullah menyadarkan semua pasukan. Musuh jangan dicari, tapi jika telah di depan mata, jangan sekali-kali lari. Akhirnya, pasukan Islam sukses memorak-morandakan Romawi. Gagallah maksud buruk mereka ingin memperluas jajahan, sekaligus merusak kemuliaan Islam. Barangkali, jika menunda menghadapi Romawi agar pasukan bertambah, belum tentu menang.

Keimanan dan disiplin beramal saleh dari Abdullah dan para sahabat Rasul membuat mereka berani menghadapi tantangan, walau ternyata lebih besar dari yang diduga. Sayangnya, kita tidak begitu. Ada kecenderungan suka lari dari masalah dan gemar menunda menyelesaikan tugas, jika dirasa masalahnya berat sekali. Dirasa susah sedikit, disikapi dengan dikerjakan belakangan. Itu pun menjelang batas akhir. Beberapa kebiasan buruk misalnya, siswa dan mahasiswa baru belajar keras menjelang ujian. Atau, para pembesar yang membiarkan masalah saat masih kecil, bahkan meremehkannya.

Namun, menjadi panik dan baru mencari pertolongan ke sana ke mari saat telah mepet, sementara energi dan dana sudah menipis. Akibatnya, kalaupun masalah terselesaikan, pengorbanannya begitu besar dibanding jika diselesaikan jauh-jauh hari sebelumnya. Mutu kerja merosot, sementara tugas dan urusan lain terbengkalai. Meningkatkan keimanan, jumlah, dan kualitas amal saleh akan membuat berani menghadapi masalah, meski lebih berat dari sangkaan. Bagaimanapun, jika sungguh-sungguh berikhtiar dan berdoa, setiap masalah teratasi. Tiada masalah kecuali sebatas kesanggupan manusia (QS 2:286). Lari atau menunda menghadapinya justru memperbesar masalah dan memperberat dampak buruknya

Read more...

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP